Everest Base Camp Indonesia A-Z
TRAVEL STORY

Everest Base Camp (EBC) 5.364MDPL dari Indonesia ke Nepal – Part 1

Penulis: Rena

Disclaimer: semua cerita ini berdasarkan pengalaman penulis dan penulis tidak bertanggung jawab dengan destinasi yang sama namun waktu dan kondisi yang berbeda.

Agak beda ceritanya kali ini, beyond Indonesia A-Z, tapi berhubung konteksnya masih travel, jadi gue mau cerita di sini. Trekking EBC bukan kayak trekking gunung kebanyakan di Indonesia, tektok, 2 hari 1 malam atau 4 hari 3 malam, tapi 12 hari 11 malam. Dengan perencanaan yang cukup matang, gue dan Vivi memutuskan ke EBC di akhir Oktober 2023. 4 tahun sebelumnya Vivi sudah pernah ke Annapurna Base Camp (ABC).

Jalur pendakian awal
Jalur pendakian awal

Kalau ditanya alasan gue ke EBC, buat ngerasain experience trekking-nya, bukan semata-mata lihat puncak gunung Everest atau gunung di Himalaya lainnya. Berapa budgetnya? Gue kemarin 1.200 USD per orang untuk 12 hari trekking dan 2 malam di Kathmandu. Di luar tiket pesawat PP Jakarta-Kathmandu. Di luar biaya wifi, charging, minum, peralatan dan lainnya yang akan gue ceritain di bawah.

Helicopter Lukla ke Kathmandu
Helikopter Sharing Lukla ke Kathmandu

Berhasil sampai EBC? Vivi iya dan gue ga. Di hari ke-6 pendakian, gue harus turun karena altitude sickness dan Vivi lanjut ke EBC. Gue turun dari Pheriche ke Lukla dengan private heli, lanjut sharing heli dari Lukla ke Kathmandu. Gue harus membayar 3.000 USD (+120 USD admin fee CC) untuk biaya heli. Dimana info dari travel agent lain kisaran harga heli 1.700 – 1.800 USD dengan case gue kemarin. Kenapa ga beli trekking insurance? Karena travel agent bilang ga perlu dan bodohnya gue waktu itu percaya aja, gue juga udah tanya harga heli sebelum berangkat dan jawaban dia 500 USD kalau sharing. Untuk travel agent kemarin, thank you for “rescuing me”, may the karma be with you and your business.

Lesson learned: cari travel agent yang profesional dan bisa dipercaya, cari info sebanyak-banyaknya tentang travel agent ini. Akan lebih baik kalau bandingin satu travel agent dengan lainnya, mulai dari cara mereka jawab pertanyaan sebelum berangkat, review di sosmed, dan tanya langsung yang pernah pakai service mereka.

Persiapan Trekking EBC

Pemandangan ke Lukla dari sebelah kiri
Tips: duduk di sebelah kiri untuk pemandangan seperti ini ke Lukla

11 bulan bukan waktu yang pendek untuk persiapan, mulai dari persiapan fisik, mental, dana, dan peralatan. Please jangan tanya berapa banyak uang yang kami habiskan untuk ini, karena setiap orang punya preferensi dan kondisi yang berbeda. Persiapan fisik mulai dari strength training, gym dan lari pagi. Persiapan Vivi lebih ke berenang.

Selain persiapan fisik, kami juga mulai buat list peralatan wajib yang perlu dibawa.

  • Sleeping bag
  • Down jacket, windbreaker jacket, polar jacket
  • Daypack dan water bladder
  • Trekking pole
  • Sarung tangan, kaos kaki, basecamp shoes
  • Sunglasses, bandana/beanie
  • Lip Balm, sunscreen, pelembab
  • Tumbler double wall untuk air panas

Lesson learned: wajib pakai extreme sport insurance sampai di ketinggian tertentu, sesuain dengan destinasi kalian.

Indonesia ke Nepal 28 Oktober 2023

Vivi berangkat dari Pekanbaru dan gue dari Jakarta, kami ketemu di Kuala Lumpur. Flight KL ke Kathmandu itu 4 jam 45 menit, kami naik Himalayan Air. Oke ga? Dari makanan ga oke, tapi selebihnya oke. Sampai di Kathmandu hampir tengah malam dan kami langsung ke hotel. Ternyata Kathmandu itu dingin di Oktober akhir.

Lesson learned: jangan ambil penerbangan yang sampainya terlalu malam, capek banget sih.

Day 0: Kathmandu

Kathmandu dari Rooftop Kailash Kutee Indonesia A-Z
Kathmandu dari rooftop hotel

Hari pertama di Kathmandu gue dan Vivi hanya mutar di Thamel, beli beberapa peralatan yang kurang, kulineran, dan di sini ketemu rombongan Indonesia yang sudah turun. Dapat info, tips dan trik dari mereka kalau suhu di atas sudah minus. Jadi hari itu kami memastikan peralatan kami cukup.

3 tempat makan yang gue rekomen di Thamel hari itu

  1. Western Tandoori: momo, butter chicken, naan, mango lassi
  2. Pumpernickle: croissantnya enak! Ngopi di sini berasa di Jakarta atau Bali dari harga dan vibesnya
  3. Thamel Kathi Roll: sandwich smoked beef and cheese enak dan murah, kami pesan yang medium

Day 1: Kathmandu – Ramechhap – Lukla 2.860 MDPL – Phakding 2.610MDPL 

Ramechhap Airport Indonesia A-Z
Ramechhap Airport

Info dari travel agent, pesawat dari Kathmandu ke Lukla sering delay atau cancel. Jadi supaya aman, kami berangkat dari Kathmandu ke Ramechhap, jam 2 pagi. Perjalanan ditempuh dalam waktu 4 jam. Guide kami berangkat bareng dari Kathmandu. Sampai di Airport Ramechhap sekitar jam 6 pagi, super ramai. Ada beberapa maskapai di sana yang ke Lukla, kami naik Summit Air. Kurang beruntung, kena delay 3.5 jam karena ada tim dari United Nation yang mau terbang hari itu. Seharusnya pesawat di 7.30, kami baru berangkat sekitar jam 12. Ruang tunggu airport bersih, ada kantin dan toilet. Yang unik di sini, tas ditimbang manual, maksimal 15 KG per orang. Pengecekan sebelum boarding juga manual, ga ada scanner, jadi masuk ke bilik dengan tirai.

Tenzing Hillary Lukla Airport Indonesia A-Z
Tenzing Hillary Lukla Airport

Penerbangan kurang dari satu jam dan akhirnya kami landing di Tenzing Hillary Airport – yang katanya the most dangerous airport in the world. TBH, ga seseram itu kok, aman dan super smooth. Di sini bisa foto dan video dengan jelas pesawat landing dan take off. Tips: jangan berdiri di belakangnya persis, anginnya kenceng banget. Ketemu porter yang akan bawa duffle bag, penduduk asli sana, yang biasa dikenal dengan Sherpa.

Jalur trekking Lukla-Phakding Indonesia A-Z
Jalur trekking Lukla-Phakding

15 menit setelah makan siang di airport, langsung trekking 4 jam dari Lukla ke Phakding. Anggap aja pemanasan, banyak turunan. Di sini lapor pos pendaftaran masuk ke TN Sagarmatha, akan dikasih kartu trekking. Medannya tangga batu, rumah penduduk, coffee shop, guest house, dan banyak praying wheels di sepanjang jalan. Lewat 1 suspension bridge dan beberapa jembatan besi. Kami sampai di guest house sekitar jam 5 sore. Ga mandi, lap dengan tisu basah dan bilas yang perlu dibilas. Besok paginya hanya cuci muka dan sikat gigi. Kami nginap di Green Village Guest House, bersih, tapi biasa aja.

Tips: putar praying wheels searah jarum jam, kalau lawan arah katanya bad luck. Hm gw sempat salah, karena posisinya di kiri, apakah pertanda atau kebetulan?

Penginapan di Phakding Indonesia A-Z
Penginapan di Phakding
Kamar Guesthouse Indonesia A-Z
Bentuk kamar di hampir semua guest house paketan yang gue ambil kayak gini

Day 2: Phakding – Namche Bazar 3.440 MDPL

Jalur pendakian EBC hari kedua Indonesia A-z
Jalur pendakian EBC hari kedua

Ini jauh lebih melelahkan dari hari pertama, karena banyak nanjak, elevasi naik sekitar 800 meter. Yang paling gue ingat dari jalur ini ada 5 jembatan gantung. Dimana jembatan kelima itu paling tinggi, paling panjang, dan paling berangin, dikenal dengan nama Hillary Bridge. Kalau dilihat di peta, jalurnya zig zag makanya kita lewat 5 jembatan dan melalui sungai yang sama. Dari Phakding sampai jembatan kelima medannya masih oke menurut gue. Masih banyak coffee shop dan guest house, pemukiman penduduk, ada juga rumah Sherpa yang sudah berumur ratusan tahun.

Jalur tangga naik dan Hillary Bridge Indonesia A-Z
Jalur tangga naik dan Hillary Bridge

Sebelum jembatan kelima, jalurnya naik turun kayak bukit penyesalan Rinjani. Setelah jembatan kelima, jalurnya menanjak, berdebu, dan panjang. Ada 1 toilet setelah jembatan kelima dan area depannya cukup luas untuk istirahat. Kalau ditanya kayak apa jalurnya, mirip jalur Lawu via Cetho gabung Merbabu via Suwanting, nanjak ga ada bonus dan berdebu, dari jembatan sampai pos jaga sebelum Namche.

Jalur menuju Namche setelah jembatan kelima
Jalur menuju Namche setelah jembatan kelima

Gue sampai di Namche sudah gelap. Kesan pertama adalah kota yang hidup! Ada toko The North Face, ada Irish Pub, ada coffee shop fancy, deretan toko, dan kaki lima. Kebetulan di bawah penginapan gue ada spa juga, tapi gue ga coba. Harganya mulai dari Rs5.000 per 30 menit. Kami nginap di Khumbu Lodge, rame banget dan dapat kamar di lantai 3. Pemandangan dari jendela sudah pegunungan Himalaya. Malam itu Vivi mulai makan sop bawang putih dan gue masih makan sandwich. Gue belum paham seberapa pentingnya sop bawang putih sampai kena AMS, buat ningkatin imun.

Lesson learned: mulai rajin makan sop bawang putih dan minum air hangat sampai di Namche.

Pemandangan dari jendela guest house
Pemandangan dari jendela guest house di Namche

Day 3: Aklimatisasi Namche Bazar ke Everest View Hotel 3.880 MDPL

Aklimatisasi dengan view Thamserku Indonesia A-Z
Aklimatisasi dengan view Thamserku

Bangun tidur dengan pemandangan gunung es dari kamar, bersiap untuk aklimatisasi. Aklimatisasi tujuannya supaya badan adaptasi dengan lingkungan baru, kayak suhu dan ketinggian karena oksigen makin ke atas makin tipis. Tujuan aklimatisasi hari itu ke Everest Hotel view, yang kalau cerah akan kelihatan Everest dari dining room. Ini hotel berbintang tertinggi di dunia. Gue ga nginap sini, makan sop bawang putih dan minum coklat panas aja. Setelah turun mampir ke Museum TN. Sagarmatha, isinya sejarah pendakian Everest.

Jalur aklimatisasi ke Everest View Hotel Indonesia A-Z
Jalur aklimatisasi ke Everest View Hotel

Kurang beruntung hari itu mendung, jadi ga kelihatan Everest, tapi pemandangan sepanjang jalan oke banget. Gunung Amadablam dan Thamserku kelihatan jelas, juga Namche Bazar dari atas, cantik banget. Sore itu gue ke warung lokal bareng guide, cobain buff momo (isi daging kerbau) dan ga sengaja cobain wild black pepper, kenceng banget ini rasanya, lidah kayak dimarinasi. Malamnya gue beli down pants dan Vivi beli down jacket, rekomen banget beli merk lokal karena lebih cocok untuk situasi di sana. 

Tips: tutup kepala dan leher dengan hoodie atau topi atau neck warmer karena berangin banget. Pakai down jacket sekalian wind breaker akan lebih baik. 

Day 4: Namche Bazar – Tengboche 3.867 MDPL – Deboche 3.710 MDPL

Puncak Everest Indonesia A-Z
Puncak Everest terlihat jelas!

Gue masih berasa sehat di pagi hari keempat ini, cuaca cerah, dan puncak Everest kelihatan jelas, happy banget! Peak season di November, jadi super rame, kayak kalau naik Gunung Gede pas weekend lewat jalur Putri. Ada 1 jembatan gantung di jalur ini, sebelum lewat jembatan, kami istirahat di coffee shop. Vivi minum hot honey lemon dan gue makan cinnamon roll, seharusnya gue mencontoh Vivi minum yang hangat. Setelah lewat jembatan kami makan siang dan nafsu makan gue mulai hilang, gue cuma makan chapati dan telur siang itu. Harga air mineral per liter Rs300, sekitar Rp 36.000.

Jalur ke Tengboche Indonesia A-Z
Jalur ke Tengboche: naik-turun-naik-turun-naik-naik-naik

Setelah makan siang jalurnya nanjak, panas, berdebu, berangin, dan ga ada bonus, kayak hari kedua setelah jembatan kelima. Tujuan kami menginap di Tengboche, ada monastery dan beberapa penginapan. Sayangnya ga dapat penginapan di Tengboche karena peak season, padahal porter sudah sampai dari jam 2 siang. Akhirnya kami harus jalan turun ke Deboche sekitar 30 menit dan menginap di sana malam itu. Ini malam pertama gue ngerasain ga bisa tidur, kebangun jam 12 malam dan kebangun tiap 1 jam berikutnya. Kami nginap di Rivendell, kamarnya bersih tapi makannya agak hambar dan lampu di lorong kamar sensornya aneh, bisa nyala dan mati sendiri lampunya, kurang nyaman sih.

Lesson learned: makan siang itu sebaiknya masuk karbo yang cukup, buat tenaga. Ada pilihan dhalbat, nasi kari atau nasi goreng atau nasi apapun.

Day 5: Deboche – Dingboche 4.410 MDPL

Menuju Dingboche Indonesia A-Z
Menuju Dingboche, Amadablam gagah banget!

Hari kelima naik elevasi 500 meter dan gue kurang tidur. Pagi itu suhu dalam ruangan 4 derajat Celcius. Begitu keluar dan jalan, ya Tuhan dingin banget, berasa di Narnia, semua ujung daun ada es dan kebetulan jalurnya rimbun. Setelah jalan sekitar 30 menit akhirnya keluar hutan, mulai agak hangat setelah lewat jembatan gantung, satu doang hari ini. Cantik banget pemandangannya, di kanan itu Gunung Amadablam kelihatan jelas. Gue ga foto karena jalan di jembatan aja gue pegangan tas guide.

Jalur makin berwarna Indonesia A-Z
Jalur makin berwarna dan terbuka, kiri tebing dan kanan jurang

Di sini nanjak, terus datar, terus nanjak lagi, medannya lebih terbuka. Pertama kali nemu WC yang airnya ada es batunya, pas makan siang. Lewati guest house dan rumah penduduk, kemudian jalur terbuka yang super wow. Ada sungai dan jembatan menuju Amadablam Base Camp. Berangin banget dan sempat snowfall. Gue dan Vivi lebih banyak berhenti di jalur ini. Capek banget, kayak ga sampe-sampe. Kiri tebing, punggungan gunung tepatnya tapi udah ga inget gunung apa, kanan jurang dan ada sungai kemudian sebrang sungai sudah tebing gunung lain. Obrolan random “ngapain ya kita kek gini?” kemudian ketawa dan lanjut jalan lagi.

Jalur mulai terbuka semakin dekat Dingboche Indonesia A-Z
Jalur mulai terbuka ke arah Dingboche

Begitu sampai di Dingboche, super dingin! Deboche kalah dinginnya sore itu. Kami nginap di Hotel CountrySide, menurut gue ini penginapan paling nyaman selama trek. Duduk lama di dining room, makan apple pie, hot lemon honey, dan manjain diri setelah kedinginan. Setelah itu kami ke kamar di lantai 2 dan gue sadar ketika naik ke lantai 2 itu heart rate gue di 130an. Gue pikir karena kecapean jalan hari itu, ga lapor ke guide. Malam itu tidur cepat, jam 8 malam sudah tidur

Lesson learned: anomali sekecil apapun lapor ke guide.

Day 6: Aklimatisasi ke 4.700 MDPL

Pemandangan aklimatisasi di Dingboche Indonesia A-Z
Pemandangan aklimatisasi di Dingboche

Malam itu kebangun lagi dan ternyata masih jam 12 kurang, belum pagi. Sama seperti hari sebelumnya, gue kebangun tiap jam. Pas pagi, bangun dengan membuat es serut di jendela, yes ada lapisan es di kaca, karena suhu pagi itu -13 derajat Celcius. Kalau ditanya gimana tidurnya? Gue bukan orang yang tahan dingin, jadi dari hari pertama tidur dengan 3 lapis: heattech, polar, dan down jacket, celana 2 lapis: heattech dan down pants, lapisan luarnya: thermal blanket, sleeping bag, dan selimut dari penginapan. Sarung tangan polar dan kaos kaki heattech ditambah basecamp shoes.

Aklimatisasi kedua di Dingboche Indonesia A-Z
Aklimatisasi kedua di Dingboche

Hari keenam adalah hari aklimatisasi, kami bisa naik sampai ke 5.100, tapi gue sampai di 4.700 MDPL aja. Mulai listen to your body, walaupun ga sepenuhnya. Gue berasa agak lemas, gue pikir karena kurang tidur. Agak mual, gue pikir karena asam lambung. Dan waktu mulai aklimatisasi, tanjakan pertama heart rate gue di 154. Inget persis karena “Gile Vi, 154 dong!” dan Vivi kira “kita udah naik elevasi 154 meter, mbak?”, “bukan, heart rate gue”. Kemudian gue istirahat beberapa menit, heart rate turun ke seratusan, kemudian lanjut jalan lagi. Vivi sampai di 4.600 MDPL dan gue penasaran ke 4.700 MDPL, jadi Vivi turun dengan guide dan gue naik dengan porter. Di sini gue ketemu lagi dengan rombongan Indonesia dan guide yang juga ownernya, mereka pakai Himalayan Master, mereka lanjut naik dan gue turun.

4.700 MDPL bareng rombongan Indonesia A-Z
Di ketinggian 4.700 MDPL bareng rombongan Indonesia

Gue turun dari 4.700 ke 4.400 itu dalam waktu 40 menit, padahal naiknya 3.5 jam, jadi ini “terlalu singkat”. Gue hanya berhenti 2 kali waktu itu karena 1 kali terpeleset dan 1 kali minum, ga ada istirahat lain. Begitu sampai di dining room penginapan, berasa blackout sepersekian detik. Masih beranggapan mungkin karena di luar terang banget. Sore itu gue jajan di coffee shop sebelah penginapan, cake coklat dan coklat panas, sambil nunggu snowfall reda. Siang itu gue cuma makan pizza mini setengah piring. Malamnya mual lagi dan gue minum obat asam lambung.

Lesson learned: listen to your body!

Day 7: Dingboche – Thukla – Lobuche

Hari dimana gue dan Vivi harus pisah jalan. Gue turun ke Pheriche dan Vivi lanjut ke Lobuche. Bersambung di part 2 dan ada ugly truth selama pendakian kemarin.