Jejak Sejarah Cina Benteng Bersama Komunitas Historia
Tulisan dan foto: Florentina Woro
“Itu siapa, Ma?”
*percakapan gue dengan Mama sekian belas tahun lalu*
“Encim Benteng”?
“Ha? Namanya Benteng?”
“Bukan, karena tinggal di Tangerang, jadinya disebut Cina Benteng. Dipanggilnya Encim Benteng”
Apa hubungannya Benteng dan Tangerang? Gue baru tau kalau Benteng merujuk ke suatu daerah yaitu Tangerang.
Pengen banget ke Pecinan di Tangerang karena memang tertarik dengan Pecinan, seperti di Lasem, Surya Kencana, Glodok, dan beberapa tempat lain. Selain karena bangunan dan budaya yang khas, makanan di Pecinan biasanya enak.
Akhirnya kesampean ke sana karena pas banget Komunitas Historia Indonesia buka trip “Jejak Sejarah Cina Benteng” dan masih suasana Imlek. Banyak juga peminatnya dan gue kebagian di batch 2 dengan titik kumpul jam 9 pagi di Stasiun Tangerang.
Sejarah Cina Benteng
Setelah briefing singkat di stasiun, kami langsung jalan kaki ke destinasi pertama yaitu Masjid Jami Al-Ittihad, di sini dulunya lokasi benteng pada abad ke-17. Pendatang dari Cina sudah ada sejak abad ke-14 sebelum VOC datang dan tinggal di sekitar Pasar Lama sekitar benteng ini. Awalnya Cina Benteng merujuk pada orang yang tinggal di sekitar Benteng, namun sekarang Cina yang tinggal di Tangerang dikenal dengan Cina Benteng.
Kelenteng Boen Tek Bio
Melewati pasar tradisional dan Museum Benteng Heritage (yang belum buka) kami menuju ke Kelenteng Boen Tek Bio. Merupakan kelenteng tertua di Tangerang, dibangun pada tahun 1684. Cukup ramai pagi itu dengan orang sembahyang. Mereka sembahyang ke beberapa Dewa-Dewi seperti: Dewa Kesehatan, Dewi Laut, Dewa Langit, Dewa Bumi, dan lainnya.
Museum Benteng Heritage
Berlokasi di Jalan Cilame No. 18&20, RT.001/RW.004, tepatnya di dalam kawasan Pasar Lama. Museum ini baru buka jam 10 pagi, jadi dari Kelenteng Boen Tek Bio kami kembali ke arah pasar tradisional.
Sebuah bangunan lama dengan 3 bagian dengan 2 bagian yang sudah direnovasi dan 1 bagian masih dijadikan sebagai tempat tinggal. Lantainya menggunakan ubin terakota yang cukup eye catching. Bangunan ini dulunya milik keluarga Lao, kemudian 2 bagian dibeli dan dijadikan Museum Benteng Heritage oleh Bapak Udaya Halim, sejarawan yang dulu tinggal di sekitar Pasar Lama (Cina Benteng).
Pengunjung hanya diperbolehkan mengambil foto dan video di lantai 1, jadi di lantai 2 kami mendengarkan penjelasan guide tentang sejarah Museum dan Kecap Benteng. Foto lantai 2 museum bisa dilihat di website. Yang menarik adalah relief di bagian atas museum terbuat dari keramik.
Masjid Kalipasir
Selanjutnya menuju ke Masjid Kalipasir, bukti akulturasi budaya Cina dengan lokal. Salah satu keunikannya terletak pada ujung atap masjid yang berbentuk seperti mahkota berwarna emas. Di sekitar Masjid ada beberapa makam yang sudah rusak dan ditutup kain putih.
Toapekong Air dan Prasasti Tangga Jamban
Ga berlama-lama di belakang Masjid, kami lanjut jalan menuju Prasasti Tangga Jamban, tapi prasasti sudah dipindahkan ke Museum Benteng Heritage. Lokasinya persis di tepi Sungai Cisadane dimana ada tangga yang sering digunakan untuk mencuci dan buang hajat (makanya disebut jamban).
Di sini juga terdapat Toapekong Air dan merupakan tempat digelarnya Festival Perahu Naga setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Cina, tahun ini jatuh pada tanggal 25 Juni 2020. Selain itu terdapat perahu untuk menuju ke Kelenteng Peh Cun, sewa perahu seharga Rp 10.000.
Roemboer
Setelah mengitari Pasar Lama, sekitar 12.30 kami sampai di Roemboer untuk makan siang. Penasaran apa sih Roemboer itu? Singkatan dari Roemah Boeroeng karena dulunya tempat sarang burung walet. Kesan pertama gue pas masuk, antik! Bangunan ini juga dibeli oleh Bapak Udaya Halim sebagai galeri (ruang retro) dan terdapat aula di lantai 2.
Akhirnya makan siang dan gue duduk santai setelah 3 jam jalan kaki keliling Pasar Lama. Menu makan siangnya lontong Cap Go Meh! Eh ada yang beda di penyajiannya, awalnya gue kira babi panggang, ternyata itu ayam panggang angkak, sepintas mirip. Enak! It’s too early to eat Lontong Cap Go Meh. Seharusnya dimakan saat perayaan Cap Go yaitu 15 hari di bulan pertama penanggalan Cina.
Setelah makan, Kang Asep Kambali menjelaskan tentang Komunitas Historia Indonesia dan dilanjutkan Bapak Udaya Halim bercerita tentang sejarah Cina Benteng dan akulturasi budaya. Ternyata banyak banget bahasa serapan dari bahasa Cina. Acara ditutup dengan foto bersama sekitar jam 2 siang.
Dodol dan Kue Keranjang Nyonya Lauw
Masih terlalu siang buat pulang, jadi gue lanjut ke pabrik dodol dan kue keranjang Nyonya Lauw yang katanya paling enak di Benteng. Tapi ternyata sudah terlalu sore untuk lihat cara produksi di pabrik. Kekecewaan terobati dengan rasa dodol lapis yang super enak! Ga terlalu manis dan gurih, pas banget. Dodol dijual per 200 gram mulai dari Rp 11.000 (Rp 55.000/kg). Kue keranjang mulai dari Rp 45.000/kg. Yang terkenal adalah kue keranjang dan dodol lapisnya.
Sate ayam H. Ishak Pasar Lama
Masih terang belum waktunya pulang haha.. Jadi balik ke Pasar Lama tepatnya di Jalan Kisamaun untuk kuliner. Ternyata terlalu cepat, sate ayam yang katanya enak banget belum buka, jadi gue cobain kue podeng. Warnanya kuning, terbuat dari tepung, kelapa muda, dan nangka yang dipanggang. Murah, hanya Rp 1.000/buah.
Agak sorean, sate legendaris akhirnya buka di sebrang Bank BCA, sate ayam H. Ishak. Gue penasaran kenapa antrian panjang banget dan panggangan sampai ada 3. Ternyata…. Enak! Sate ayam daging tanpa kulit harganya Rp 21.000/10 tusuk. Ada sate kulit, ati ampela dan telur. Bumbu kacang tidak terlalu kental dan kasar, tapi gurih dan pas. Pantes makin sore makin rame.
Lelah yaa ternyata seharian muter Pasar Lama… Oiyah waktu pagi lewat pasar tradisional, banyak yang jual kue basah dan di sini salah satu tempat yang masih menjual kue doko, harganya Rp 4.000/buah.