Mumi di Papua, Pilihan Liburan Antimainstream
Kontributor: Florentina Woro
Ada mumi di Papua? Yap! 2 di antaranya berada di Desa Aikima dan Desa Jiwika. Jangan dibayangkan mumi di Papua itu dibalut kain seperti di Mesir, mumi di Papua diawetkan dengan cara diasap. Tidak sembarang orang juga yang diawetkan menjadi mumi, biasanya mereka adalah panglima perang atau kepala suku. Melihat mumi di Papua menjadi salah satu tujuan kami ke Wamena. Di hari pertama Festival Lembah Baliem, kami mengunjungi tiga desa adat hari itu, Desa Aikima, Desa Jiwika, dan Desa Suroba. Masing-masing desa memiliki keunikannya sendiri.
Desa Aikima
Di sini terdapat mumi tertua yang ada di Wamena. Info dari penduduk lokal yang menemani kami ketika di Desa Aikima, mumi yang berasal dari Suku Dani ini sudah berusia 700 tahun (sumber lain menuliskan umur mumi ini berbeda). Semasa hidupnya mumi di Desa Aikima ini adalah panglima perang. Mumi diletakan di Honai laki-laki yang disebut Pilamo.
Desa ini bisa diakses dengan kendaraan roda empat dan ada biaya masuk yang harus dibayar di perjalanan menuju Desa Aikima, berkisar antara Rp 100.000 sampai Rp 200.000. Harga itu hanya biaya untuk masuk ke desa, jika kalian ingin mengambil foto mumi, ada biaya tambahan yang harus dibayar. Besarnya biaya bisa dinegosiasikan langsung dengan warga lokal di sana. Agak kaget sih ketika ada seorang bapak datang membawa parang dan membawa parang ketika kami mendekat ke mumi, namun ternyata membawa parang itu sesuatu yang umum di sana.
Desa Aikima adalah desa adat pertama yang kami kunjungi hari itu. Pemandangan dari pintu masuk desa langsung menghadap ke Pasir Putih Baliem, indah banget ketika langit cerah.
Desa Jiwika
Cukup mudah akses menuju Desa Jiwika, tidak jauh dari jalan utama. Desa Jiwika juga terkenal dengan muminya, namun kami memutuskan tidak melihat mumi karena diminta membayar Rp 1.500.000 per rombongan untuk melihat mumi. Mahal banget! Hari itu hari pertama Festival Lembah Baliem (7 Agustus 2018) sehingga banyak wisatawan yang datang ke Desa Jiwika. Kami membayar Rp 300.000 hanya untuk masuk ke dalam desa, tanpa melihat mumi.
Desa Jiwika cukup ramai, ada beberapa rombongan wisatawan dan penduduk desa berjualan aksesoris khas Papua seperti noken dan koteka. Penduduk lokal di sini berpakaian adat, baik laki-laki dan perempuan. Untuk wisatawan yang ingin berfoto bersama mereka, sekali jepret untuk satu kepala kami harus membayar Rp 10.000. Agak kaget ketika kami hanya ingin melihat-melihat desa, mereka mendatangi untuk berfoto.
Bersama Warga Lokal di Desa Jiwika. Foto oleh DavidUntuk foto di atas, gue membayar Rp 20.000 karena sudah terlanjur bertanya harga dan mereka sudah datang berkerubung. Banyak mama yang ingin ikut berfoto untuk mendapatkan Rp 10.000 per orang. Di Desa Jiwika ada lebih dari 20 orang, kebayang kan jika mereka semua foto bareng berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali foto? Sekian ratus ribu. Belum lagi mereka menawarkan barang dagangannya dengan cukup bergerilya. Agak kaget ketika jalan keluar, tiba-tiba seorang mama menggandeng tangan kanan gue, sambil senyum dengan gigi merah penuh pinang sirih dan mengajak untuk melihat noken dagangannya. Sejujurnya gue kurang nyaman di Desa Jiwika ini, kurang dari 30 menit kami di dalam desa.
Desa Suroba
Di Desa Suroba tidak ada mumi, tapi pemandangan menuju Desa Suroba itu kece banget! Ada bukit, padang sabana, sungai, dan jika beruntung bertemu babi hutan. Sekitar 15 menit kami berjalan kaki dari tepi jalan menuju Desa Suroba yang ternyata sudah menjadi desa wisata. Wisatawan bisa menginap di sini dengan biaya Rp 250.000/orang untuk satu malam.
Cuaca sangat terik siang itu, namun udaranya dingin, jadi gue memilih tetap memakai topi sepanjang perjalanan. Setelah melewati jembatan kayu melintasi sungai dan hutan, kami sampai di Desa Suroba. Desa ini rimbun, dikelilingi hutan pinus. Selain itu juga terdapat beberapa tenda di dalam honai karena sore itu ada rombongan wisatawan yang akan menginap. Yang disayangkan ada bekas Honai terbakar beberapa bulan lalu karena kelalaian wisatawan. Penduduk Desa Suroba menyambut kami dengan ramah dan siang itu kami berkunjung dengan membayar Rp 20.000.
Buat gue, Desa adat di Wamena sangat menarik untuk dikunjungi. Untuk wisatawan yang tertarik dengan wisata budaya, melihat langsung mumi berusia rausan tahun memberikan pengalaman yang sangat berkesan. Kalau ingin berinteraksi lebih dalam dengan penduduk lokal, kalian bisa menginap di Desa Suroba. Ketiga desa di atasnya letaknya masih berdekatan jadi kalian bisa mengunjunginya dalam satu hari.
Tips ke perkampungan adat di Papua untuk melihat mumi:
- Sebaiknya ditemani orang lokal sehingga mempermudah untuk komunikasi dan negosiasi harga, entah guide atau driver.
- Bertanya di awal sebelum mengambil foto, berapa harga yang harus dibayar untuk melihat mumi
- Jaga sikap dan perkataan dan jangan menyentuh mumi
- Topi dan sunblock akan sangat membantu karena sangat terik saat siang hari
- Waktu terbaik mengunjungi Wamena saat Festival Lembah Baliem, biasanya diadakan di bulan Agustus