Tjong A Fie Mansion – City Tour Medan
Akhirnya kami sampai di Tjong A Fie Mansion setelah berjalan kaki sekitar 30 menit dari RM. Sinar Pagi sebagai pembuka wisata kuliner Medan. Tidak sulit untuk mengenali bangunan ini karena warna cat temboknya kuning cerah dan persis di pinggir Jalan Jendral Ahmad Yani, di kawasan Kesawan. Thanks to Google Map! Selama ada sinyal internet dan Google map berfungsi, menurut gue satu masalah selesai.
Dengan membayar tiket masuk Rp 35.000 kami ditemani seorang guide bernama Hanif. Mbak Hanif menjelaskan dengan cukup detail dan menjawab semua pertanyaan yang gue tanyakan. 1 jam 15 menit eksplor Tjong A Fie Mansion dan 45 menit berikutnya kami habiskan untuk foto-foto. Arsitekturnya oke banget, meja dan kursinya klasik, apalagi langit-langit dan ubinnya. Langit-langit di bawah tangga pun ada lukisannya. I love every details here!
Begitu memasuki Tjong A Fie Mansion, kesan pertama adalah lapang dan luas. Rumah dengan langit-langit yang tinggi dan tidak banyak sekat sehingga terlihat lapang. Tjong A Fie berasal dari Cina, awalnya diundang oleh kakaknya ke Indonesia untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan tembakau. Karena kualitas kerja dan leadership yang oke, beliau diangkat sebagai mayor. Singkat cerita, karirnya terus menanjak sampai akhirnya menjadi orang terkaya di Medan saat itu, sekitar tahun 1920an.
Sebelum Tjong A Fie ke Medan, beliau sudah 2 kali menikah, namun pernikahannya sudah selesai (istri kedua meninggal). Ada di silsilah pohon keluarga Tjong A Fie. Dengan istrinya di Indonesia yang berbeda umur 16 tahun, memiliki 7 orang anak. Salah satunya, anak perempuan yang mendirikan sekolah musik pertama di Indonesia dan menikah dengan warga Belgia. Di rumah ini masih tersimpan piano yang dulu dipakai anaknya dan juga meja marmer yang dipakai untuk menjamu tamu.
Saat ini, rumah Tjong A Fie ditinggali oleh cucunya yang bernama Ibu Mimi. Beliau tinggal di bagian sayap kiri Tjong A Fie Mansion. Sehingga pengunjung hanya bisa melihat bagian tengah dan bagian kanan dari rumah ini. Info Mbak Hanif, sisi kiri dan sisi kanan rumah ini simetris. Di lantai bawah dari rumah tingkat 2 ini terdapat 3 ruang tamu yang berbeda. Ruang dengan nuansa Melayu untuk menjamu Sultan Deli, bagian tengah merupakan ruang tanpa sekat dari pintu masuk untuk warga sekitar, dan sebuah ruangan nuansa Cina untuk tamu dari Cina
Di bagian tengah terdapat tempat terbuka, persis menghadap ke altar keluarga, persis di atasnya terdapat altar untuk Dewa (bagian ini tidak boleh difoto). Kami mengunjungi kamar tidur Tjong A Fie, dimana terdapat timbangan dan vacum cleaner tahun 1800an, juga koper yang dibawa Tjong A Fie ketika pertama kali datang ke Medan. Kemudian kami menuju ruang makan yang sudah direnovasi, dapur dengan tungku yang masih asli dan oven saat itu.
Di bagian atas terdapat beberapa kamar yang saat ini digunakan sebagai kamar tamu dan juga showroom untuk butik Ibu Mimi. Yang menarik, terdapat sebuah ballroom dengan jendela di semua sisi yang dulunya digunakan sebagai tempat dansa. Di lantai 2 ini juga terdapat perpustakaan, buku dengan bahasa Cina, Belanda, dan Indonesia. Sirkulasi udara di sini sangat baik dengan adanya banyak jendela.
Ada sebuah ruangan yang berisi foto-foto Tjong A Fie dan keluarga, dulunya merupakan kamar dari anak sulungnya. Penasaran dari mana foto-foto yang ada di sini, ternyata berasal dari dokumentasi Tropenmuseum Belanda, dimana Tjong A Fie salah satu donatur untuk museum ini. Bu Mimi yang mengurus foto-foto ini untuk dicetak kembali di Indonesia. Tjong A Fie memiliki relasi yang baik dengan Belanda dan juga membantu membangun salah satu museum di sana. Selain itu, di Indonesia, Tjong A Fie juga mendermakan uangnya untuk membangun masjid, gereja, dan wihara.
Pengalaman baru yang berkesan buat gue city tour Medan ke Tjong A Fie Mansion ini. Kagum dengan perjuangan dia, mulai dari nol sampai akhirnya menjadi orang terkaya di Medan. Dan yang paling gue suka adalah quote dia yang ada di tiket.
“There are on earth where I stand, I hold the sky. Success and glory consist not in what I have gotten, but in what I have given.”
Kita berwisata, kita bercerita.