Wisata Jogja – One Day Trip Bantul
Setelah direncanakan berbulan-bulan, akhirnya ke Jogja buat jalan-jalan santai. Kami hanya punya waktu 2 hari untuk eksplor Jogja, akhirnya diputuskan untuk eksplor Bantul di hari pertama dan main ke Kaliurang di hari kedua. Perjalanan pergi cukup melelahkan karena sudah terlanjur membeli tiket kereta ekonomi. Jumat malam, kami berempat berangkat dari Stasiun Senen pukul 22.20. Selayaknya kereta api kelas ekonomi, kursinya tegak lurus dengan tempat duduk.
Sesampainya di Jogya pagi itu dan numpang mandi di rumah salah satu teman, kami langsung menuju destinasi pertama di Bantul. Supaya puas jalan-jalan di Bantul, kami menyewa Avanza Rp 300.000/hari dan lepas kunci. Wisata Jogja kali ini hanya sekitar Bantul.
Ayam Goreng Mbah Cemplung
Destinasi pertama adalah Ayam Goreng Mbah Cemplung. Wisata kuliner Jogja yang cukup terkenal di daerah Bantul. Apa sih yang menarik? Gue penasaran juga apa bedanya dengan ayam goreng pada umumnya. Lokasi pertama yang kami datangi di dekat Pabrik Gula Madukismo, sempat nyasar, kelewatan, putar balik dan akhirnya ketemu. Zonk! Tutup ternyata…. Thanks to Google Map, ada 1 lagi Ayam Goreng Mbah Cemplung di daerah Sendang Semanggi. Daripada kecewa, sebelum ke sana, gue telfon dulu dan untungnya buka.
Untuk berempat, kami pesan nasi dengan 1 ekor ayam goreng, 1 porsi terong goreng, 1 porsi tumis daun pepaya, 3 beras kencur dingin, dan 1 wedang uwuh. Pastinya paket ayam goreng sudah lengkap dengan lalap dan 2 jenis sambal. Total makanan yang kami bayar Rp 198.000 untuk 4 orang. Cukup murah dengan rasa dan porsinya yang besar. Niatnya brunch, tapi karena kelewat kenyang, sekaligus lunch.
Rumah Makan Mbah Cemplung terdiri dari 2 bangunan sederhana dan tempat parkir yang luas. Beruntunglah banyak pohon rindang di tempat parkir sehingga siang itu cukup teduh. Tidak jauh dari sini, ada Gua Maria Sendang Semanggi, tapi kami tidak menemukan sendang di sekitar Gua Maria.
Rumah Budaya Tembi
Bermodalkan Google Map, kami menuju spot kedua wisata Jogja, yaitu Rumah Budaya Tembi yang lokasinya masih berada di Bantul. Tidak sulit menemukan Rumah Budaya Tembi karena lokasinya persis di tepi jalan raya.
Awalnnya sempat mengira semacam museum, ternyata lebih dari itu. Ketika sampai di parkiran yang tidak terlalu luas, seorang staff menghampiri kami dengan ramah dan menunjukkan pintu masuknya. Joglo dengan gamelan di bagian dengan cukup eye catching dan sedang disiapkan coffee break untuk rombongan bus yang akan datang siang itu.
Begitu memasuki area dalam Rumah Budaya ini, kesan pertama adalah Jawa banget! Beberapa rumah berbentuk Joglo terdapat di sini dan ternyata memang disediakan penginapan dengan harga mulai dari RP 400.000-an. Lain kali bisa menginap di sini karena ada kolam renang dengan pemandangan langsung ke hamparan sawah. Ada juga paket wisata yang ditawarkan seperti belajar membatik. Karena hanya berempat dan keterbatasan waktu, kami tidak mengambil paket wisata di sini, hanya berkeliling. Info lengkap Tembi bisa dilihat di sini.
Di area belakang Rumah Budaya sedang disiapkan catering untuk acara pernikahan. Ya di sini menawarkan wedding package outdoor dengan harga yang cukup bersahabat, hm menarik. Kemudian berlanjut ke Museum Budaya Tembi yang terletak di bagian sebelah kiri Joglo utama.
Sepintas, teringat dengan Museum Budaya Sumba. Bangunannya terdiri dari ruangan tanpa sekat. Benda-bendanya ditata rapih di dekat dinding dan bagian tengah museum. Ada 2 orang guide dari Dinas Kebudayaan yang bertugas di sini. Beliau menjelaskan pada awalnya, Rumah Budaya Tembi merupakan tempat Lembaga Studi Jawa yang didirikan oleh Bapak Polikarpus Suwantoro pada September 1995. Benda-benda yang menjadi objek penelitian diantaranya keris, wayang, tombak, celengan, patung, dan topeng. Koleksi kerisnya mencapai 260 buah, diadakan ritual memandikan keris setiap hari Jumat dan pengunjung dapat melihatnya. Di sini juga terdapat koleksi poster iklan sebelum kemerdekaan dengan ejaan lama, sepeda ontel, kulkas tanpa listrik, dan koleksi lainnya. Menarik!
Tidak dipungut biaya untuk masuk ke museum, hanya membayar uang kebersihan serelanya dan biaya parkir.
Hutan Pinus Mangunan
Setelah menikmati budaya Jawa, sekarang waktunya kembali ke alam. Sekitar 1 jam dari Rumah Budaya Tembi akhirnya kami sampai di Hutan Pinus Mangunan, salah satu destinasi wisata Jogja. Akses jalannya sudah beraspal halus, namun menanjak dan berkelok. Parkiran cukup luas di sebrang kawasan hutan pinus dan penuh dengan kendaraan pengunjung. Banyak terdapat warung makan dan ada beberapa toilet di sini.
Kesan pertama adalah adem! Pohon pinusnya cukup rapat di bagian depan dan cocok untuk dipasang hammock. Ada juga penyewaan hammock, tapi kami memutuskan duduk-duduk santai saja. Jalan ke arah belakang, ternyata ada spot menarik. Bunga celosia warna kuning dan merah dengan pohon-pohon kering. Ya, pohon kering dengan daun yang sedikit, latar langit biru, dan bunga merah kuning di sekitarnya sangat menarik untuk difoto.
Gue duduk manis di kursi kayu ketika yang lain mencoba naik menara pandang. Ada beberapa menara pandang dengan 3 tingkat ketinggian, sepertinya menarik di atas sana. Hutan pinus Mangunan ini mengerti kebutuhan wisatawan karena jumlah kursinya cukup banyak bukan hanya formalitas. Berjalan semakin ke belakang, pemandangannya adalah tebing dengan hutan terbuka. Tempat yang pas untuk bersantai menikmati udara bersih. Salah satu destinasi wisata Jogja yang cocok untuk liburan keluarga.
Parangtritis
Sudah pukul 16.00 dan kami berencana melihat matahari terbenam di pantai selatan Jogja. Parangtritis yang menjadi tujuan kami selanjutnya. Kembali bermodal Google maps dan putar balik beberapa kali akhirnya kami tiba di Parangtritis pukul 5.45. Agak deg-degan sepanjang perjalanan, takut matahari sudah terbenam ketika sampai. Thanks God, pas banget! Dapat moment ketika matahari bulat sempurna berwarna orens. Hanya selang beberapa menit, matahari terbenam.
Setelah matahari terbenam, langit Parangtritis menyisakan warna violet dan kami menikmati pantai sampai sisa warna itu hilang. Yang gue suka dari Parangtritis adalah delmannya yang iconic di pantai berpasir hitam. Kami tidak bermain air di sini karena memang hanya ingin menikmati matahari terbenam.
Yang masih sama dengan Parangtritis dari sekian belas tahun yang lalu adalah warung makan dan homestay di dekat pantai belum berubah. Tempat parkirnya sekarang sudah rapih dan lebih tertata.
Ganjuran
Waktunya kurang pas kalau mau misa di Ganjuran, sudah terlambat, jadi kami mampir untuk mengambil air suci di sini. Gereja Ganjuran ini unik karena terdapat candi di dalamnya, candi dibangun sebagai perwujudan rasa syukur. Yang menarik dari Gereja Ganjuran adalah inkulturasi Katolik dengan budaya Jawa. Akses jalan menuju Ganjuran cukup mudah, letaknya masih di sekitar Bantul. Gue agak kurang terbiasa untuk mengambil foto di dalam tempat ibadah dan sedang berlangsung misa, jadi tidak ada foto di Ganjuran.
Warung Bu Ageng
Karena malam itu kami menginap di Adhisthana, Prawirotaman, dari Bantul kami langsung menuju ke sana. Kami memutuskan makan malam di Warung Bu Ageng di daerah Tirtodipuran, tidak jauh dari Prawirotaman. Menu utamanya adalah masakan khas Indonesia dengan pemiliknya Butet Kartaradjasa. Warung Bu Ageng merupakan salah satu wisata kuliner Jogja yang wajib dikunjungi.
Tempat parkirnya tidak terlalu luas dan cukup padat karena kami datang di jam makan malam. Untungnya, pelayanan di sini cukup cepat sehingga kami tidak perlu menunggu terlalu lama. Malam itu kami memesan nasi paket dengan harga sekitar Rp 30.000 per paket. Ini kedua kalinya gue makan di Warung Bu Ageng karena tempatnya bersih, rasa dan harganya masih sesuai dengan porsinya. Berhubung sudah terlalu lapar, tidak ada foto makanan di Warung Bu Ageng, untuk menunya bisa dilihat di sini.
Kita berwisata, kita bercerita.