TRAVEL STORY

Wisata Sukabumi – Goa Buniayu

Pantai atau gunung pasti rame kalau libur Lebaran, jadi kali ini gue coba ke destinasi lain, yaitu Gua Buniayu yang ada di Sukabumi. Ada beberapa operator yang mengelola trip ini dan kami memilih operator langsung di sana di bawah Perhutani. Dengan konsep sharing cost berlima, cek tiket kereta dan waktu yang pas, berangkatlah kami ke Gua Buniayu hari Jumat, 30 Juni 2017.

Jakarta – Sukabumi

2 orang dari Bekasi pagi itu kesiangan yang berujung ketinggalan kereta. Drama pagi hari. Kereta Pangrango dari Bogor ke Sukabumi berangkat tepat pukul 7.50 dan sampai di Sukabumi 9.45. On time loh! Di Stasiun Sukabumi gue ketemu dengan 2 orang teman baru (temannya teman) yang berangkat dari Cianjur.

Dari Stasiun Sukabumi, kami bertiga jalan kaki menuju jalan utama untuk naik angkutan umum menuju Jubleg, Rp 4000 sekitar 20 menit. Sambung lagi angkutan umum menuju Purabaya dengan membayar Rp 15.000 (kalau lagi ga libur Lebaran Rp 12.000), turun di gerbang Wana Wisata Buniayu.

Di terminal Jubleg, angkutan umum akan jalan ketika sudah penuh penumpangnya. Lumayan lama nunggu di sini sampai jam 11an dan akhirnya cuma 4 orang penumpang. Perjalanan dari Jubleg ke Buniayu memakan waktu sekitar 1 jam dan yang heboh adalah supirnya ngebut! Karena angkot agak kosong, ketika supir ngebut, kami agak terpental dari tempat duduk. Jalannya berkelok dan bergelombang.

 

 

Akhirnya sekitar jam 12 sampai di pintu gerbang Buniayu, Bang Ucok menghampiri kami di warung depan gerbang. Mi instan makanan paling dicari siang itu karena agak mendung dan pas banget jam makan siang. Karena menunggu 1 orang yang ketinggalan kereta maka sekitar jam 2 barulah kami jalan kaki ke dalam. Jalannya landai dengan hutan pinus di kiri dan kanan. Sekitar 800 meter sampai di penginapan

Begitu sampai di penginapan, hujan deras, pas banget! Disambut dengan gorengan dan teh manis hangat. Sambil menunggu 1 orang lagi, tidur siang dulu sampai sekitar jam 4 sore. Penginapannya terbuat dari bambu, hanya terdiri dari 1 ruangan dialasi karpet dan kasur gulung. Sesuai dengan harga yang kami bayar. Kamar ini muat sampai 20 orang. Kamar mandi dan toilet berjarak sekitar 10 meter dari kamar

 

Penginapan

 

Kamar menginap

 

Gua Horizontal Cipicung

Jam 4 sore, hujan sudah agak reda dan team sudah lengkap, kami masuk ke Gua Cipicung. Gua ini merupakan gua horizontal dengan kedalaman sampai 32 meter. Kami masuk dari mulut gua yang landari dan menelusuri gua sepanjang 250 meter. Gue ga bawa kamera kali ini dan mengandalkan HP casing plastik jadi foto yang didapat kurang maksimal. Hanya memakai boot dan helm, belum memakai wearpack.

 

Mulut Gua Cipicung

 

“Masuk sekarang atau malam sama aja, di dalam gelap soalnya” Bang Ucok mengatakan itu sebelum kita ke gua. Benar sih, di dalam gua ga ada bedanya siang atau malam. Jalan kaki sekitar 5 menit dari penginapan kami sudah sampai di mulut Gua Cipicung. Sudah ada tangga di mulut gua, semakin ke dalam, semakin banyak kelelawar. Stalagmit dan stalaktit di sini masih bertumbuh. Ada  sungai yang mengalir dan terhubung ke Gua Kerek. Jika musim hujan, ketinggian air sungai naik dan gua ini tidak bisa dimasuki. Kami masuk dan keluar dari tempat yang sama.

 

Stalaktit aktif

 

Sebelum keluar dari gua, Bang Ucok meminta kami mematikan headlamp untuk merasakan kegelapan abadi selama beberapa menit. Kegelapan abadi yang dimaksud adalah kondisi gelap tanpa ada cahaya sedikit pun. Hitam semua.

 

Gua Vertikal Kerek

Setelah sarapan, kami menuju ke Gua Vertikal sekitar jam 8 pagi. Agak jauh, berjalan kaki sekitar 15 menit untuk sampai di mulut Gua. Gue inget ketika di Gua Jomblang, tetap deg-degan ketika tergantung di tali. Berdoa! Hahaha.. Kedalaman mulut gua ini 18 meter, namun celahnya cukup sempit, jadi sebisa mungkin kita mengontrol posisi tali supaya ga nabrak kiri kanan pas di mulut gua.

 

Mulut Gua Kerek

 

Begitu sampai di dasar gua, sumber cahaya hanya berasal dari headlamp dan celah kecil mulut gua 18 meter di atas. Guide kami hari itu adalah Kang Gareng. Di gua ini harus lebih berhati-hati karena jalurnya jauh lebih ekstrim dibandung Gua Cipicung hari sebelumnya. Bebatuan lebih licin dan banyak jurang. Di sini kami melihat kelelawar dengan jarak dekat, ada udang Purba di celah stalagmit yang terisi air, dan binatang menyerupai belalang.

 

Kelelawar di Gua Kerek

 

Ada stalagmit dengan ketinggian 10 meter, ada juga stalagmit dengan bentuk seperti organ reproduksi. Salah satu canopy di dalam gua ketika ditepuk berbunyi seperti gong. Well, itu smua terjadi secara alami. Ada juga udang purba loh yang panjangnya ga lebih dari 1 cm dan ini sangat langka. Udang ini berwarna merah muda dan hidup di air.

 

Udang purba di Gua Kerek

 

Canopy di Gua Kerek

 

Menyusuri gua sepanjang 2.5 KM ini memakan waktu 3 jam. Bersiap untuk pegangan erat, melompat, merunduk, bahkan sampai merangkak. Perlu fisik yang baik dan terlebih lagi siap mental, pastinya jangan takut kotor. Ada sungai yang ketinggiannya saat itu sampai 800 meter, dapat dipastikan kami basah sampai pinggang. Info dari Kang Gareng, jika Gua Cipicung terendam air, sudah dapat dipastikan Gua Kerek tidak aman untuk dikunjungi karena ketinggian air sungai di sini akan naik. Kami berjalan menyusuri sungai dan yang paling ekstrim adalah berjalan melewati lumpur di dalam gua ini. Buat gue, berjalan di lumpur jauh lebih sulit daripada berjalan di pasir menuju puncak gunung. Kalau terlalu lama angkat kaki, lumpur akan masuk ke boots dan kaki semakin berat untuk diangkat.

Kami semakin dekat dengan mulut gua untuk keluar ketika jalan semakin menanjak seperti tangga. Untuk menyemangati kami yang sudah lelah, Kang Gareng meneriakan “taraje!”, yang artinya tangga dalam bahasa sunda.  Setelah berjalan sekitar 2.5 KM, kami sampai di sebuah tangga bambu. Berjalan sedikit ke depan mulai melihat cahaya. Kembali ke peradaban!

 

Setelah keluar dari Gua Kerek

 

Air Terjun Bibijilan

Keluar dari gua, berjalan kaki sekitar 200 meter, kami dijemput dengan menggunakan mobil pick-up untuk menuju ke Air Terjun Bibijilan. Di air terjun yang paling bawah, kami membersihkan lumpur yang menempel di helm, wearpack dan boots. Berhubung sedang libur Lebaran, pengunjung di sini cukup ramai.  30 menit kemudian kami kembali ke penginapan dan bersiap untuk membersihkan diri dan pulang.

 

Air terjun Bijibilan

 

Sukabumi-Jakarta

Bahagia ketika sampai di penginapan karena makan siang yang dihidangkan sangat banyak! Sayur asem, ayam goreng, tahu goreng, ikan asin, bakwan jagung, sambal, karedok, dan kerupuk. To be honest, selama trip ini makanan paling berlimpah. Porsi makanan yang disajikan ga pelit dan beragam. Ini foto makanan waktu sarapan, nasi goreng pakai ati ampela dan sosis. Kalau mau ke Gua Buniayu bisa mengontak Bang Ucok di page storyteller IAZ.

 

Makanan selama di Buniayu

 

Berjalan perlahan ke depan gerbang karena kekenyangan. Untungnya langsung dapat angkot ke Jubleg, kemudian kami lanjut naik angkot ke terminal Sukabumi. Ternyata sebelum terminal ada mobil angkot (L300) langsung ke Baranangsiang Bogor dengan harga Rp 35000 karena Lebaran, info penumpang lain biasanya Rp 25.000. Berbarengan dengan arus balik, perjalanan yang biasanya 2 jam menjadi 4 jam, kami tiba di Bogor sekitar jam 8 malam. Kenapa ga naik kereta? Ga dapet tiket. Haha… Sekali-sekali ngerasain arus balik mudik Lebaran.

Di balik cerita ini banyak banget dramanya, jadi bumbu perjalanan. Intinya sih ya kalau pergi ramean gini, please be on time dan tau sikon sedang ada dimana, terutama di tempat umum. Ucapan juga dijaga apalagi di alam bebas kayak di dalam gua. Selain jaga ucapan, pastinya jaga kebersihan lingkungan.

Kita berwisata, kita bercerita.