Workshop di Kampung Budaya Sindangbarang
“Menarilah dan terus tertawa walau dunia tak seindah surga…”
Laskar Pelangi
Bahagia dan bebas. Itu yang gue rasakan ketika melihat anak-anak kecil mementaskan beberapa kesenian Sunda di Kampung Budaya Sindabarang, Bogor.
Ada Apa di Sindangbarang?
Sindangbarang adalah sebuah kampung budaya yang menyediakan penginapan dan juga mementaskan kesenian daerah khas Jawa Barat. Kali ini gue ke Sindangbarang dalam rangka mengikuti travel workshop yang diadakan oleh ID Corners dan disponsori Fujifilm. Jujur, gue suka hasil foto Fujifilm, terutama dari warnanya. Tapi apa daya belum ada budget, jadi pakai kamera seadanya dulu. Semua foto-foto di tulisan ini hasil dokumentasi team ID Corners dengan menggunakan Fujifilm. Cakep ya!
Perjalanan Menuju Sindangbarang
Sekitar pukul 8.00 kami berangkat dari Stasiun Bogor. Dengan menyewa 2 angkot dari stasiun, kami menuju ke Sindangbarang. Kalau ditanya bagaimana perjalanannya, jujur gue tidur, jadi cuma berasa kepentok beberapa kali di angkot tapi tetap merem, ngantuk banget. Kebangun ketika supir angkot minta kami semua turun karena angkot ga kuat nanjak. Baiklah… Olah raga setelah bangun tidur. Sekitar pukul 9.00 kami sampai di Kampung Sindangbarang.
Travel Workshop
Alunan bambu menyambut kami sesampainya di Kampung Budaya Sindangbarang. Sayang banget, sebagian lumbung padi sedang direnovasi, jadi ga seindah waktu gue datang sebelumnya. Kami menuju ke Bale Riung untuk mendapatkan materi travel workshop yang pertama, travel fotografi oleh Mbak Raiyani. Dimulai dengan penjelasan dasar fungsi kamera sampai pengambilan foto low angle.
Sekitar pukul 10.30 semua peserta travel workshop sudah standby di lapangan, lumayan terik, untung bawa topi. Karena Mbak Raiyani mengajarkan low angle dan sepertinya itu yang paling melekat di kepala kami, hampir semua peserta duduk manis berjejer di lapangan yang panas itu, termasuk gue. Bahkan ada yang terlentang atau tengkurap, demi low angle.
Gue menikmati semua atraksi di Kampung Budaya Sindangbarang ini. Setelah merekam beberapa detik dan mengambil beberapa foto, gue duduk manis menikmati atraksi mereka. Panas terik ga menurunkan semangat mereka untuk menari dan memberikan penampilan yang terbaik. Salut!
Kostum penari yang gue paling suka itu Tari Merak karena motifnya bagus dan penuh warna. Sedangkan atraksi tarian yang paling gue suka adalah Rampak Gendang, penarinya enerjik dan selalu senyum, kayak battery full charge. Ada juga atraksi Parebut Seeng yang merupakan budaya Sunda. Unik sih, rebutan seeng yang bentuknya seperti dandang untuk memasak nasi. Aslinya pertunjukan Parebut Seeng ini adalah tradisi ketika lamaran.
Setelah berpanas-panas ria di lapangan dan mempraktekan materi fotografi, makan siang ala Sunda sudah menanti di Bale Riung. Ga tau makanannya yang enak banget atau gue yang laper banget. Beneran deh enak banget! Menunya nasi, ayam goreng, tahu goreng, sayur asem, lalapan, dan sambal. Ga sempat dan ga ingat lagi foto makanan, langsung makan dan terlalu menikmati.
Perut kenyang, hati senang, waktunya jalan-jalan. Beneran jalan dong karena angkutan umum yang disewa ga kuat nanjak ketika menuju ke Rumah Sutra. Lebih dari 1 KM kami berjalan kaki dan menanjak, rasanya kayak trekking di aspal. Sebenarnya ada jalur lain menuju Rumah Sutra setelah tanya penduduk sekitar, entah kenapa si bapak supir lewat jalan sini. Kalau dari peta sekitar 30 menit saja, tapi karena drama nyasar dan jalan kaki, jadi hampir satu jam.
Rumah Sutra
Untungnya masih diperbolehkan masuk sesampainya di Rumah Sutra karena sudah selesai jam operasionalnya (08.00-14.00). Kami diajak ke kebun murbei, dimana daunnya dijadikan makanan untuk ulat sutra. Kemudian ke rumah ulat sutra. Gue ga sanggup lama-lama di dalam, karena seperti rumah binatang lainnya, ini agak bau. Jadi gue langsung menuju ke pengolahan kokon. Kokon itu sebutan kepompong ulat sutra, sepintas kayak kacang sukro.
Dari situ kami ke pengolahan benang. Nah menariknya di sini, si ulat sutra atau yang disebut pupa sudah dipisahkan dari kokonnya bisa dimakan. Beneran? Iya benar dong! Gue coba makan satu pupa yang sudah direbus. Tapi rasanya di luar ekspektasi gue hahaha.. Sebelumnya pernah coba makan pupa di Ayutthaya, padat dan kering. Sedangkan pupa di sini kempes dan berair, sepertinya beda jenis dan beda gaya hidup, loh?!
Kemudian kami ke ruang tenun, dimana proses menenunnya manual. Kalau ada yang tersangkut, harus dirapihkan sebelum makin kusut. Ga heran kalau harga kain sutra mahal. Prosesnya pengerjaannya rumit dan cukup panjang.
Setelah belajar tentang persutraan, kami kembali ke Kampung Budaya Sindangbarang. Begitu sampai di Bale Riung Sindangbarang, materi travel workshop dilanjutkan oleh Mbak Dona, tentang travel blogging. Tulisan ini sebagai hasil dari workshop 24 Agustus 2019 di Kampung Budaya Sindangbarang Bersama dengan ID Corners dan Fujifilm.
Kamu menikmati tulisannya? Kalau iya, pasti lebih menyenangkan lagi kalau menikmati langsung pertunjukan tarian di sana. Yuk datang langsung ke Sindangbarang dan Rumah Sutra!