Everest Base Camp Indonesia A-Z
TRAVEL STORY

Everest Base Camp (EBC) 5.364MDPL dari Indonesia ke Nepal – Part 2

Penulis: Vivi dan Rena

Pemandangan dan cerita indah selama pendakian ada di EBC Part 1. Kalau di part 2, gue dan Vivi harus pisah jalan, gue turun ke Pheriche dan Vivi lanjut ke Lobuche. Hari ke-7 sampai ke-12 cerita EBC dari point of view Vivi. Ada ugly truth selama pendakian kemarin karena kenyataan ga selalu seindah postingan di sosial media πŸ™‚

Day 7: Dingboche – Thukla 4.620 MDPL – Lobuche 4.940 MDPL

Gue inget banget malam kedua di Dingboche Mbak Rena ngebangunin gue tengah malam dan bilang sakit kepala. Gue dalem hati udah ngebatin β€œWah udah mulai muncul gejala AMS (Altitude Mountain Sickness) nih”. Berusaha tetap tenang dan gue nyaranin Mbak Rena untuk minum Diamox, untuk meringankan gejala AMS dan biasa diminum pendaki di Himalaya, gue beli ketika di Thamel. Diamox cuma boleh di minum 1 butir dalam waktu 24 jam. Setelah minum Diamox Mbak Rena lanjut tidur, tapi gue notice kalo malam itu tidurnya ga nyenyak, sampai akhirnya Mbak Rena ngebangunin gue lagi bilang dengar suara detak jantungnya jelas banget, heart rate dia tinggi. Kemudian dia minum Panadol Extra karena masih sakit kepala.

Medan awal Dingboche ke Thukla Indonesia A-Z
Medan awal Dingboche ke Thukla

Thank God sekitar jam 6an menurut mbak Rena sakit kepala udah hilang, tapi heart rate masih tinggi, 120an di posisi duduk. Gue kasih tau ke guide, dan pagi itu Mbak Rena langsung dikasih garlic soup dan air hangat. Nunggu sampai jam 8 pagi, kalau belum stabil, guide menyarankan untuk turun ke desa yang lebih rendah dan ga lanjut ke EBC. Menjelang jam 8 selesai sarapan, kami memutuskan untuk jalan karena sakit kepala Mbak Rena sudah hilang, tapi memang heart rate masih lumayan tinggi. Kenapa memutuskan jalan? Karena saturasi oksigen di Garmin Instinct Mbak Rena itu 95%, kami mikirnya saturasi oksigen aman, mungkin heart rate tinggi karena memang kecapekan aja hari sebelumnya.

Nap with a view di Dingboche Indonesia A-Z
Ekspektasi: nap with a view. Kenyataan: napas aja capek banget men!

Dari Dingboche kami jalan menuju Thukla, spot makan siang di hari itu. Di perjalanan, ternyata heart rate Mbak Rena masih tinggi walaupun jalan pelan, jalan 3 langkah langsung 140-150 bpm. Berkali-kali istirahat, minum, duduk, sempat tiduran, tapi nafas mulai berasa tipis. Begini terus selama 6 jam, dimana waktu normal itu 3 jam dari Dingboche ke Thukla. Akhirnya Mbak Rena setuju dengan saran JP untuk turun ke desa terendah paling dekat, Pheriche di 4.370 MDPL, kemudian guide mencarikan kuda.

Kuda turun ke Pheriche Indonesia A-Z
Kuda turun ke Pheriche, ngeblur karena crop dari video

Kami sampai di persimpangan Thukla – Periche sekitar 14.30, setelah makan garlic soup lagi, Mbak Rena langsung turun ke Periche dengan kuda (150 USD) ditemani porter dan gue + guide melanjutkan perjalanan ke Lobuche dengan kuda juga (150 USD) untuk menghemat waktu dan tenaga. Gue cuma bawa perlengkapan tidur dan termos air, selebihnya dibawa turun porter.

Begitu sampai di Lobuche gue langsung beli wifi di tea house dan dan gue shock waktu chat Mbak Rena diinfo kalo saturasi oksigennya drop ke 55% dan besok pagi harus rescue dengan helikopter ke Kathmandu. Berita ini lumayan ngegoyah mental gue, baru sadar kalau ternyata hiking di Himalaya risikonya bisa sebesar dan sefatal itu. Malam itu di Lobuche suhunya -14 derajat Celcius dan gue memutuskan tidur lebih cepat. Gue overnight di Sherpa Lodge and Restaurant, untuk kamar nya biasa aja, tembok kamar dari triplek tipis doang, jadi lo bisa dengar orang di kamar sebelah lagi ngobrol atau ngorok jelas banget.

Leasson learned : Usahakan untuk jalan pelan-pelan dan pastikan bagian hidung, mulut, telinga dan dada tertutup rapat, jangan lupa untuk banyak minum air putih! Bawa oksimeter manual, sepertinya lebih akurat.

Day 8 : Lobuche – GorakShep – EBC – GorakShep

Gue mulai jalan ke Gorakshep sekitar jam 7an, setelah sarapan garlic soup and toast dan minum hot honey lemon ginger. Jalur menuju Gorakshep sudah full terbuka dan lebih dingin. Di awal medannya masih oke, tanah bebatuan cenderung landai. Setelah dua jam jalan, medannya mulai full bebatuan dan menanjak lumayan tinggi, menguras energi banget. Gue makin sering istirahat dan mulai drop karena was-was dengan AMS, agak sedikit kena mental mengingat kondisi mbak Rena, dan gue batuk. Setiap batuk heart rate naik dan jadi agak susah nafas. Sempat denger waktu papasan sama bule, β€œI swear to God, if I know this trek like hell, I’m gonna pay for horse riding from Lobuche to Gorak Shep”. Sayangnya HP gue rusak pas balik dari EBC, jadi ga ada foto medan Gorakshep, info Gorakshep bisa dilihat di sini.

Jalur ke EBC Indonesia A-Z
Jalur ke EBC

Sampai di Gorakshep pas makan siang dan sekitar jam 1 lanjut jalan ke EBC. Guide bilang kalau sore itu diprediksi ada snowfall, pasti berkabut. Benar aja, belum 1 jam jalan udah mulai gerimis tipis, tapi langit di atas masih cerah, gue langsung minta tolong guide gue untuk sewa kuda untuk setengah perjalanan Gorakshep – EBC – Gorakshep (200 USD). Kenapa pakai kuda ? 

Ada 2 hal yang jadi pertimbangan, 

  1. Supaya ga kena snowfall. Gue ga punya baju, celana dan down jacket extra untuk ganti kalau basah kehujanan karena duffle bag gue ikut di bawa ke Periche
  2. Untuk menghemat waktu. Gue ga jalan sejauh ini dan secapek ini untuk ngeliat EBC yang ketutup kabut dan ga kelihatan apa-apa. I mean, this is a lifetime experience for me!
Jurang Khumbu Ice EBC Indonesia
Jurang Khumbu Ice EBC

Mendekati EBC jalur nya masih bebatuan tapi lebih ekstrem karena di kiri kanan nya langsung jurang. Di sebelah kiri jurang batu dan di sebelah kanan jurang khumbu ice. Dan akhirnya gue sampai di EBC! Speechless, masih ga nyangka gue bisa sampai di titik ini, walaupun sebenarnya hari itu adalah hari yang paling bikin drop mental karena trek menuju GorakShep. Cuma setengah jam di EBC, langsung balik ke Gorakshep sebelum snowfall dan hujan lagi. Sampai di Gorak Shep sekitar jam 5 sore, menginap di Buddha Lodge. Kamarnya lumayan bagus tapi di sini listrik terbatas, lampu di kamar itu mulai nyala jam 9 malam dan mati di jam 6 pagi.

Leasson learned : Pakai down jacket yang wind proof dan water proof karena cuaca menuju EBC itu unpredictable, dingin dan kadang bisa hujan atau snowfall. Di trek ini berasa kalo oksigen mulai tipis jadi jangan jalan terlalu cepat terus kalau bisa isi hot honey lemon ginger di double wall termos kalian untuk minum selama di jalan, terus jahe nya dikunyah dan ditelan, perbanyak minum atau makan yang bisa menghangatkan badan.

Day 9 : GorakShep – Pheriche – Pangboche

Seharusnya jam 5 pagi gue mulai jalan ke Kala Patthar (5.644Mdpl) tapi subuh pas bangun leher gue sakit banget karena tidur numpuk 2 bantal dan suhu pagi itu -17 derajat Celcius. Jadi gue skip ke Kala Patthar dan lanjut tidur sampai jam 7 kemudian sarapan. Karena masih capek, gue sewa kuda dari Gorakshep ke Pheriche, 250 USD. Sampai di Pheriche 11.48, ga sampai 4 jam dengan kuda, kalau jalan kaki 7-8 jam. Makan siang dan istirahat di Pheriche.

Penginapan di Pangboche Indonesia A-Z
Penginapan di Pangboche
Masak air tanpa listrik atau api di Pangboche Indonesia A-Z
Di Pangboche bisa masak air tanpa listrik atau api, tapi dengan panas matahari

Karena masih siang, guide gue menyarankan untuk lanjut turun sampai Pangboche, sekitar 2-3 jam jalan kaki, ini akan menghemat waktu trekking besoknya. Jalur Periche ke Pangboche hampir 90% turunan, sampai di Pangboche sekitar jam 4. Gue nginap di Highland Sherpa Resort (kami sempat mampir di toilet penginapan ini waktu perjalanan naik), penginapannya bersih dan nyaman, malam itu jadi malam pertama gue tidur nyenyak selama trekking di EBC.

Leasson learned : Siapin dana darurat untuk hal tak terduga, contohnya kuda. Gue ga pernah kepikiran bakal ngeluarin 600 USD untuk bayar kuda selama trip ini.

Day 10 : Pangboche – Namche Bazar

Jalan lebih pagi dari Pangboche sehingga bisa sampai di Tengboche sebelum jam 10 pagi. Di Tengboche ada monastery dan dibuka untuk umum. Pas banget ada ibadah pagi itu, jadi gue ikut ibadah setengah jam, di ruangan ibadah ga boleh ambil foto dan video. Setelah itu gue makan siang, gue pesan fried chicken yang ternyata ayam goreng polos yang dimarinasi pakai bumbu kuning, ini jadi ayam goreng terenak yang pernah gue makan selama trek di EBC dan porsi nya super banyak!

Kamar di khumbu lodge Indonesia A-Z
Kamar di Khumbu Lodge, Namche Bazar

Dari Tengboche ke tempat makan siang cenderung turunan, setelah makan siang medannya full nanjak, dan mulai landai menjelang ke Namche Bazar. Gue sampai di Namche jam 4 sore dan menginap di hotel yang sama, di malam kedua, Khumbu Lodge. Beruntung dapat kamar di lantai 1 dan kasurnya double bed. Malam itu gue tidur nyenyak banget dan baru kebangun ketika alarm bunyi di jam 5 pagi.

Day 11 : Namche Bazar – Lukla

Pagi ini gue bangun langsung kepikiran trek jalan dari Namche ke Lukla lewat Phakding kayak di hari pertama, akan banyak tanjakan karena waktu berangkat banyak turunan. Selain itu juga harus melewati 5 suspension bridge lagi. Gue jalan lumayan cepat dan makan siang (grilled chicken with fries dan minum coca-cola) di Tok-Tok, desa sebelum Phakding. Setelah makan siang lanjut ke Lukla, jalan pelan karena medannya menanjak, tapi gue ga berasa tersika hari itu. Guide gue suka jajan samosa dan telur rebus, jadi sering berhenti di warung lokal. Mungkin karena sering berhenti untuk jajan ini jadi gue juga ga berasa tersika, banyak break hahaha..

Yak steak Indonesia A-Z
Yak steak

Sebelum jam 5 sore gue sudah sampai di Lukla, nginap di Himalaya Lodge, kamarnya oke dan dekat banget dengan airport. Begitu sampai langsung mandi dan bersih-bersih. The ugly truth is gue ga mandi selama 11 hari pendakian. Ga disarankan mandi karena ketika mandi pakai air hangat kemudian selesai mandi kena udara dingin, malah bikin drop. Baru nyadar juga ketika lepas sepatu, telapak kaki gue melepuh di banyak tempat. Malam itu gue dinner bareng guide dan porter (Sherpa) karena porter ga ikut ke Kathmandu. Gue pesan yak steak tapi zonk banget karena danging nya keras dan alot.

Day 12 : Lukla – Ramechhap – Kathmandu

Penerbangan dari dan menuju Lukla itu kebanyakan delay daripada on schedule, harus sabar karena cuaca di Lukla ga bisa diprediksi. Masih bersyukur bisa take off walaupun delay daripada cancel flight. Gue nunggu di dining hall sampai boarding, dimana seharusnya jam 10. Ternyata delay dan baru take off 12.08, sampai di Ramechhap 12.32. Gue makan siang di warung lokal di sebrang airport dan menunggu elf kapasitas 15-17 orang untuk ke Kathmandu. Nunggu penuhnya lumayan lama, baru berangkat dari Ramechhap jam 4 sore.

Lord of The Drink di Thamel Indonesia A-Z
Lord of The Drink di Thamel

Karena sudah sore dan besoknya festival Tihar, jalanan lebih macet dari biasanya, gue baru sampai hotel di Kathmandu 21.08. Akhirnya gue ketemu sama mbak Rena lagi setelah 5 hari pisah! Lanjut makan malam dan cobain yang katanya club paling hits di Thamel, Lord of The Drink. Wah jujur malam itu kaki gue udah ga berasa lagi, tapi baru di sini gue ngelihat orang clubbing pakai polar jacket dan down jacket, unique experience banget! Kita balik ke hotel menjelang jam 1 pagi dan langsung istirahat karena malamnya penerbangan balik ke Indonesia.

Terus, ngapain aja Rena di Kathmandu 5 hari?

Boudhanath Stupa Indonesia A-Z
Boudhanath Stupa

Di hari ke-7 waktu gue pisah dengan Vivi, malam itu gue opname dengan masker+selang oksigen di klinik di Pheriche, HRA Pheriche, total biaya 650 USD. Di hari ke-8 ketika Vivi di Gorakshep, gue dijemput private heli di Pheriche 6.30, cuma 8 menit sampai di Lukla. Kemudian nunggu 40 menitan naik heli sharing ke Kathmandu. Begitu sampai ke Kathmandu langsung dibawa ke rumah sakit CIWEC. Thank God, saturasi oksigen normal, sudah balik ke 95%, tekanan darah dan nafas juga normal, cuma dikasih obat pilek karena emang gejala pilek. Di bagian ini gue sangat berterima kasih ke dokter di Pheriche, yang ternyata volunteer, wow! Juga terima kasih ke pemilik travel agent (TA) yang urus rescue proses gue dan bawa gue ke rumah sakit begitu sampai di Kathmandu. Kondisi fisik dan mental gue belum stabil waktu itu, sendirian di negara yang gue ga tau bahasa aslinya, sedih dan drop banget.

Tapi maaf banget nih gue ga bisa merekomendasikan TA yang gue pakai kemarin. Gue ga tulis nama TA karena dia udah menyelamatkan hidup gue, tapi jangan sampai ada yang mengalami kejadian ga enak kayak gue, makanya perlu dinfo di sini. Ada 2 hal yang bikin gue sangat kecewa dengan pemilik TA ini. Kalau kepo gue kemarin pakai TA apa, bisa japri aja di IG atau WA ya.

Harga heli yang ga transparan

Di 6 Nov 23 (hari yang sama ketika dijemput heli) gue dapat invoice heli itu dari kantornya, dimana seharusnya dari kantor heli. Setelah debat, baru besoknya gue diajak ke kantor heli untuk dapat invoice dari kantor heli. Sama aja invoicenya, beda kop surat doang, ga ada keterangan detail harga per rute, private/ sharing dan gue tanya detailnya. Si TA bilang “Ga usah bilang ke asuransi kalau lu sharing, kirim aja ini”. Karena sudah capek fisik dan mental, gue gesek kartu kredit seharga invoice hari itu. FYI: ga ada sepeser pun biaya rescue yang tercover, heli dan dokter, karena gue pakai travel insurance bukan trekking insurance. Setelah kejadian ini, beberapa menyarankan bisa pakai trekking insurance World Nomads atau FWD. Disclaimer: gue ga tau mana yang lebih oke, itu saran dari beberapa orang.

Lesson learned: jangan percaya TA mentah-mentah, wajib beli trekking insurance, cek SnK-nya.

Helikopter di Pheriche Indonesia A-Z
Private heli Pheriche ke Lukla

Ga profesional dan ga sopan

Awalnya sangat ramah dan jagain tamunya, tapi gue berasa mulai berlebihan dan bikin ga nyaman. Dua hari setelah kejadian heli, gue diajak trekking di taman nasional di Kathmandu, gue coba positive thinking dia mau menghibur gue yang gagal ke EBC. Ternyata tangannya gentayangan dan topik obrolan dia seputar selangkangan. “Ren, lu ga kabur aja?” Kalau kabur mau lari kemana, taman nasionalnya itu hutan luas banget dan ga rame kayak jalur EBC… Cerita selengkapnya nanti di podcast ya!

Lesson learned: jangan cuma tanya ke 1 travel agent, cari perbandingan sebanyak-banyaknya, cek sosmed dan review, amati cara mereka ngejawab pertanyaan, sesederhana typo atau obrolan basa basi yang ga profesional.

Sunset setelah trekking di Nagi Gumba Indonesia A-Z
Sunset setelah trekking di taman nasional

Jadi sebenarnya gue selamat dua kali, dari saturasi oksigen rendah dan dari si TA ini. “Pelajaran hidup yang mahal banget” 2 minggu itu. Setelah kejadian trekking taman nasional, gue eksplor sendiri Thamel dan ikutan walking tour dari Facebook. Iya gue login FB lagi karena disarankan teman baru di sana. Hari terakhir gue diantar TA ke Boudhanath, tapi hari itu berasa aman karena Vivi ada di Kathmandu. Seru ya? Dari yang semangat, senang, sedih, capek, takut, marah, kecewa, ada semua kemarin. Bumbu perjalanannya banyak! Mau balik lagi? Mau dong, buat remedial dan ganti semua memori Kathmandu gue πŸ™‚

Walking tour Thamel Indonesia A-Z
Walking tour Kahtmandu
Walking tour with Shiva. Photo by Shiva
Walking tour with Shiva. Photo by Shiva